­

is my standard too high?

February 27, 2019

Pernah nggak kamu merasa, sangking seringnya bertemu laki-laki yang tidak sesuai dengan preferensi standar kamu, begitu kenal satu saja yang bisa memenuhi hampir semua kriteria standar yang kamu mau, perasaan kamu jadi berantakan? Berantakan di sini campur aduk antara senang dan takut sendiri karena everything seems like too good to be true. Saya pernah.



Saya pernah kenal satu yang begitu. Laki-laki ini hampir sesuai dengan standar yang saya mau sebagai pasangan. Sebentar, saya mau mengaku dulu kalau saya memang menetapkan beberapa standar sendiri. Satu list yang berisi standar prisipal yang tidak boleh diganggu gugat, satu lagi standar yang tidak terlalu principal jadi masih bisa sedikit digoyang~

Saya menetapkan standar saya dengan penuh kesadaran agar kehidupan romansa saya ke depannya bisa lebih baik dan lebih mudah, walaupun tetap saja saya yakin konsekuensinya, saya harus sedikit menunggu lebih lama daripada teman-teman saya yang lain. Standar inilah yang orang-orang lain akan bilang, ‘standar cowokmu ketinggian, nik?’ atau dengan jelasnya bilang ‘jangan tinggi-tinggi amat ah standarnya!’

Tapi tunggu deh, do I really set my standard too high? Saat yang bener-bener saya mau adalah orang yang menghargai orang lain sebagai pribadi yang setara dengannya, apapun profesinya? Saya pernah kenal dan lumayan dekat sama orang dengan appearance dan latar belakang pendidikan (juga pekerjaan) yang tidak kalah hebat, mencemooh profesi lady boy saat saya bercerita pengalaman saya waktu di Bangkok. Saat itu juga dia langsung saya keluarkan dari daftar penjajakan saya.

Apa memiliki standar pasangan yang punya empati, tidak sinis pada sesamanya, menghormati perempuan, menghargai saya sebagai pribadi merdeka yang butuh didukung perkembangannya, membiarkan saya memilih apa dan menjadi apapun yang saya suka sesuai bakat dan potensi yang saya punya adalah berarti memiliki standar pasangan yang TERLALU tinggi untuk seorang saya?

Apakah saya harus menuruti kemauan orang-orang dengan menurunkan standar yang sebenernya adalah STANDAR YANG PALING STANDAR DALAM MENJADI MANUSIA? Jadi sebenarnya standar kualitas laki-laki ada di level mana sih kalau standar yang umum seperti itu aja masih dibilang ketinggian?

Balik lagi soal terlalu seringnya saya ketemu orang-orang yang tidak sesuai dengan standar saya itu, begitu ketemu satu yang be able to provide them all in front of me saya nggak tahu apa ini beneran nyata. Saya berusaha menemukan satu hal yang bisa membuat saya berfikir, oh there’s something no good on him that I should be understand, but I find none. Kami bisa bicara tentang sexual harassment tanpa dia menghakimi korban, kami bicara tentang urgensi RUU PKS bahkan kami bicara tentang drama korea. Everything seems like too good to be true. 

Saya tipe orang yang percaya kalau ada hal baik datang, maka kamu harus siap-siap hal buruk juga akan datang. Pun juga kalau ada hal buruk datang, siap-siap aja hal baik juga akan datang belakangan. Kepercayaan inilah yang bikin saya aware terhadap situasi apapun. Termasuk ya ini. 

Apa saya akan berusaha mendekati that man who has all ‘my yes’? Saya nggak tahu, karena itu tadi, everything seems so good. Saya clueless antara memang minder dan kaget karena akhirnya ketemu satu yang sesuai dengan apa yang saya mau, atau saya nggak mau imajinasi saya tentang dia, dengan semua standar yang dia punya, hilang begitu aja seiring nanti kalau saya makin kenal dia. Yang mungkin satu-satunya kekurangan dia adalah dia nggak sesuka itu sama saya, who knows?

But I do really enjoy having conversation with him and even if we don’t end up together, I wish we could be good friends later. Rasanya pengen request ke Tuhan biar dibanyakin yang model begini, jadi kalau nggak jadi sama yang ini bisa nemu lagi yang lain-lain.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Part of

Blogger Perempuan